CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

ORGANISASI RAKAN SURAU SESI 2011/2012

PENAUNG :
DR MOHAMMAD AZIZ SHAH BIN MOHAMED ARIP
(PENGETUA KOLEJ HARUN AMINURRASHID )

PENASIHAT :
USTAZ ROSLIZA @ ROSLI BIN MAHMUD
( PENGARAH PUSAT ISLAM UPSI )
DR MAKMUR BIN HARUN
( FELO/PENASIHAT )

PEMANTAU :
HUSAIRI BIN HANAFI
EMY NAZIRA BINTI EMBONG

PENGERUSI :
HAFIZALULLAH BIN ALIAS

TIMBALAN PENGERUSI 1 :
HENG TIGER

TIMBALAN PENGERUSI 2 :
SITI HAFSAH BINTI HAJI MOHTAR

SETIAUSAHA :
NUR HAKEMAH BINTI HASSAN

TIMBALAN SETIAUSAHA :
NURUL IDAYU BINTI MAT NOR

BENDAHARI :
SITI NORAINI BINTI SUKERNA

TIMBALAN BENDAHARI :
HASNOR BINTI IZZATIE

LAJNAH DAKWAH DAN PENERANGAN ( LDP )
RAIS : MOHD AHZAM BIN CHE MAT
RAISSAH : NORMA BINTI SUDIRMAN

LAJNAH 3K
RAIS : MOHD FARHAN BIN ABD LATIB
RAISSAH : NUR HANIS BINTI SAMSUDIN

LAJNAH EKONOMI DAN KEUSAHAWANAN ( LE )
RAISSAH 1 : HUDA BINTI YUSOF
RAISSAH 2 : AMNAH BINTI ABDUL HAMID

LAJNAH TARBIAH ROHANIAH ( LTR )
RAIS :MOHAMMAD HALIMI BIN ABDUL HADI
RAISSAH : NUR AQILAH BINTI MOHAMAD NASIR

LAJNAH TARBIAH JASADIAH ( LTJ )
RAIS : SYED AHMAD WAJEEH BIN SYED SYEIKH
RAISSAH : SITI THALATHIAH BINTI CHE PA

LAJNAH HELWA
RAISAH 1 : NORIDAYU BINTI MOHAMED
RAISSAH 2 : SITI NAILAH FARAFISHAH BINTI ABDUL

LAJNAH PENERBITAN DAN INFORMASI ( LPI )
RAIS : AHMAD GADDAFIE BIN SABRIL AMAN
RAISSAH : SITI HAJAR BINTI ALIYAIS

LAJNAH PENGURUSAN SURAU
RAIS : NUR AFIFI BIN MOHAMAD MAHMOD
RAISSAH : HANNAN HANINA BINTI MOHAMAD

Saturday, March 10, 2012

rahsia terdalam di hati...

(copy and paste)

Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah.
Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya.
Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik
darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka
dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan
darah ayahnya.Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis.
Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh
kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di
sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya
pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah
waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.

‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan
paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan
harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak
diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.

”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding
Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena
ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada
Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan
perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk
menanti maut di ranjangnya.

Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan
saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman,
’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini
yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.

Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang
dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih
bisa membahagiakan Fathimah.

’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. ”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas
cintaku.”Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau
mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk
mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr
mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan
perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani
tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut
dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.

’Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang
melamar Fathimah. ’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah
’Ali dan Abu Bakr. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang
menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan
semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya
pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya
Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu
Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”

Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan
bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang
Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak
menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan
di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan
bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia
thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari
ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya
menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan
hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali
lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda
yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak.
’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha.

Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan. Itulah keberanian. Atau
mempersilakan. Yang ini pengorbanan. Maka ’Ali bingung ketika kabar itu
meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak.

Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah,
saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah
itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.Di antara Muhajirin hanya
’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin
mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d
ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn
’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?”Mengapa bukan engkau
yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan.
”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang
ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. ””Aku?”, tanyanya tak yakin.”Ya. Engkau wahai
saudaraku!””Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?””Kami di
belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka
dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah.
Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya.
Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk
makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu
memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu
sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.”Engkau pemuda sejati
wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab
atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda
yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata
itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.Dan ia pun bingung. Apa maksudnya?
Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan
atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang.
Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada
menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam
hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.”Bagaimana jawab Nabi
kawan? Bagaimana lamaranmu?””Entahlah..””Apa maksudmu?””Menurut kalian apakah
’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”. Maksud kami satu saja sudah cukup
dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau
mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !”Dan ’Ali pun
menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula
ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar
cicilannya. Itu hutang.Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu
Bakr, ’Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan
janji-janji dan nanti-nanti.

’Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang
mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak
pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil
kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.

Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali,
“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta
pada seorang pemuda ”‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau
mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”Sambil tersenyum Fathimah
berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”

Kemudian Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah
sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah
(dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”

Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan
mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.” (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4).
* Jika dirasa
bermanfaat dipersilahkan utk copas atau share langsung...Barakallahu
fiikum....Aamiin ya Robb...^_^

0 comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

HOME